Budaya Maluku
adalah aspek kehidupan yang mencakup adat istiadat, kepercayaan, seni dan
kebiasaan lainnya yang dijalani dan diberlakukan oleh masyarakat Maluku. Maluku
adalah sekelompok pulau yang merupakan bagian dari Nusantara. Maluku berbatasan
dengan Timor di sebelah selatan, pulau Sulawesi di sebelah barat, Irian Jaya di
sebelah timur dan Palau di timur laut. Maluku memiliki beragam budaya dan adat
istiadat mulai dari alat musik, bahasa, tarian, hingga seni budaya.
BUDAYA KALWEDO
Salah satu
dari banyaknya budaya Maluku adalah Kalwedo. Kalwedo adalah bukti yang sah atas
kepemilikan masyarakat adat di Maluku Barat Daya (MBD). Kepemilikan ini merupakan kepemilikan bersama
atas kehidupan bersama orang bersaudara. Kalwedo telah mengakar dalam kehidupan
baik budaya maupun bahasa masyarakat adat di kepulauan Babar dan MBD. Pewarisan
budaya Kalwedo dilakukan dalam bentuk permainan bahasa, lakon sehari-hari, adat
istiadat, dan pewacanaan.
NILAI ADAT KALWEDO
Kalwedo
merupakan budaya yang memiliki nilai-nilai sosial keseharian, dan juga
nilai-nilai religius yang sakral yang menjamin keselamatan abadi, kedamaian,
dan kebahagiaan hidup bersama sebagai orang bersaudara. Budaya Kalwedo
mempersatukan masyarakat di kepulauan Babar maupun di Maluku Barat Daya dalam sebuah
kekerabatan adat, dimana mempersatukan masyarakat menjadi rumah doa dan istana
adat milik bersama. Nilai Kalwedo diimplementasikan dalam sapaan adat
kekeluargaan lintas pulau dan negeri, yaitu: inanara ama yali (saudara
perempuan dan laki-laki). Inanara ama yali menggambarkan keutamaan hidup dan
pusaka kemanusiaan hidup masyarakat MBD, yang meliputi totalitas hati, jiwa,
pikiran dan perilaku.
Nilai-nilai Kalwedo tersebut
mengikat tali persaudaraan masyarakat melalui tradisi hidup Niolilieta/hiolilieta/siolilieta
(hidup berdampingan dengan baik). Tradisi hidup masyarakat MBD dibentuk untuk
saling berbagi dan saling membantu dalam hal potensi alam, sosial, budaya, dan
ekonomi yang diwariskan oleh alam kepulauan MBD.
BUDAYA HAWEAR
Sasi (Hawear) di Kepulauan Kei
Hawear (Sasi) adalah budaya yang
tumbuh dan berlaku dalam kehidupan masyarakat Kepulauan Kei secara turun
menurun. Cerita rakyat, lagu rakyat, dan berbagai dokumen tertulis merupakan
prasarana untuk melestarikan kekayaan budaya termasuk Hawear. Sejarah Hawear bermula dari seorang gadis
yang diberikan daun kelapa kuning (janur kuning) oleh ayahnya. Kemudian janur
kuning itu disisipkan atau diikat di kain seloi yang dipakainya. Gadis tersebut
melakukan perjalanan panjang untuk menemui seorang raja (Raja Ahar Danar).
Maksud dari janur kuning tersebut sebagai tanda bahwa ia telah dimiliki oleh
seseorang, dimaksudkan agar ia tidak diganggu oleh siapapun selama
perjalanan. Janur kuning tersebut
diberikan oleh sang ayah, karena sang ayah pernah diganggu oleh orang-orang tak
dikenal dalam perjalanannya. Hal ini adalah proses Hawear yang masih dijalankan
sesuai dengan maknanya hingga saat ini.
BATU PAMALI
Contoh: Batu Pamali Negeri
Saparua
Batu Pamali
adalah simbol material adat masyarakat Maluku. Selain Baileo, rumah tua, dan
teung soa, batu Pamali juga termasuk mikrosmos dalam negeri-negeri yang
ditempati masyarakat adat Maluku.Batu Pamali merupakan batu alas atau batu
dasar berdirinya sebuah negeri adat yang selalu diletakkan di samping rumah
Baileo, sekaligus sebagai representasi kehadiran leluhur (Tete Nene Moyang) di
dalam kehidupan masyarakat. Batu Pamali sebagai bentuk penyatuan soa-soa dalam
negeri adat, dengan demikian batu Pamali adalah milik bersama setiap soa. Di
beberapa negeri adat Maluku, batu Pamali dimiliki secara kolektif, termasuk
negeri adat yang masyarakatnya memeluk agama yang berbeda. Seiring dengan
perkembangan agama di masyarakat, terjadi pergeseran praktik ritus dan
keberadaan batu Pamali. Dengan adanya UU No. tahun 1979, adat asli negeri-negeri
diganti dengan penyeragaman sistem pemerintahan desa.
UPACARA FANGNEA KIDABELA
Kepulauan
Tanimbar yang sekarang menjadi Kabupaten Maluku Tenggara Barat, memiliki
kebudayaan yang mengatur persaudaraan dan kehidupan sosial masyarakat dalam
bentuk Duan Lolat dan Kidabela. Duan Lolat mengatur tentang hubungan sosial
masyarakat yang luas, yaitu memperkuat hubungan antardua desa atau lebih, dan
hubungan tersebut diwujudkan dalam bentuk Kidabela. Upacara Fangnea Kidabela
memperkokoh hubungan sosial masyarakat Tanimbar dalam wadah persaudaraan dan
persekutuan agar tidak mudah pecah atau retak.
MAKNA UPACARA FANGNEA KIDABELA
Upacara
Fangnea Kidabela mengandung makna persatuan dan kesatuan hidup masyarakat
Tanimbar baik internal maupun eksternal dalam setiap situasi. Upacara Fangnea
Kidabela juga mengandung makna sebagai pemanasan, pengerasan, dan pemantapan
(fangnea) terhadap persahabatan, persaudaraan (itawatan) dan keakraban
(kidabela) di antara sesama sebagai suatu persekutuan wilayah teritorial Kampung
Sulung di pulau Enus yang terletak di Selaru bagian selatan pulau Yamdena.
Makna upacara Frangnea Kidabela sama dengan upacara Panas Pela di Ambon, Lease,
dan Maluku Tengah. Upacara ini menciptakan suasana hidup bermasyarakat yang
kokoh dan kuat untuk mencegah fenomena konflik dan perpecahan terhadap hubungan
masyarakat.
HIBUA LAMO
Hibua Lamo adalah rumah besar
yang dijadikan simbol masyarakat adat di Halmahera Utara, sekaligus simbol
Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara. Di Halmahera Utara terdapat
tiga etnis masyarakat yang memiliki rumah adat masing-masing, misalnya rumah
adat etnis Tobelo disebut Halu. Namun Hibua Lamo yang menjadi pemersatu semua
etnis. Hibua Lamo adalah konstruksi dari nilai-nilai hidup dalam masyarakat
yang mengidentifikasi dirinya sebagai komunitas Hibua Lamo. Hibua Lamo
merupakan konsep bersama yang disebut Nanga Tau Mahirete (rumah kita bersama).
Orang Tobelo, Galela dan Loloda tersegregasi secara geografis, dan terbelenggu
dalam tradisi, agama dan kepercayaan yang berbeda. Perbedaan tersebut dipahami
dan dihayati dengan kesucian hati dan kemurnian pikiran, kemudian diterapkan
dalam sebuah ungkapan filosofis Ngone O’Ria Dodoto yang bermakna satu ibu satu
kandung. Konsekuensi dari falsafah Nanga Tau Mahurete dan Ngone O’Ria Dodoto
adalah lahirnya sebuah komunitas asli Halmahera Utara daratan maupun kepulauan
dalam satu kesatuan yang teridentifikasi sebagai komunitas Hibua Lamo dan
kemudian disimbolkan dalam rumah adat Himua Lamo.
Dalam konteks ini komunitas
Tobelo, Galela, dan Loloda mengalami proses penyatuan dalam satu sosiokultural
baru yang dinamis. Sosiokultural ini berlandaskan pada nilai-nilai O’dora
(saling kasih), O’hanyangi (saling sayang), O’baliara (saling peduli), O’adili
(perikeadilan) dan O’diai (kebenaran) dalam bingkai Nanga Tau Mahurete dan
Ngone O’Ria Dodoto.
BUDAYA ARUMBAE
Lomba Arumbae Manggurebe
Arumbae adalah bentukan karakter
masyarakat Maluku, baik yang tinggal di pesisir maupun di pegunungan. Arumbae
adalah kebudayaan berlayar dalam masyarakat Maluku. Perjuangan melintasi lautan
merupakan bagian dari terbentuknya suatu masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat
Tanimbar – dalam mitos Barsaidi meyakini bahwa leluhur mereka tiba di pulau
Yamdena setelah melewati perjuangan yang sulit di lautan. Perjuangan melintasi
lautan merupakan sejarah keluhuran. Kedatangan para leluhur dari pulau Seram,
pulau Jawa (seperti Tuban dan Gresik) dan pulau Bali menjadi bagian dari cerita
keluhuran masyarakat di Maluku Tengah, Buru, Ambon, Lease, dan Maluku Tenggara.
Ragam cerita inilah yang membentuk terjadinya persekutuan Pela Gandong antar
negeri. Dalam pataka daerah Maluku, Arumbae menjadi simbol daerah yang di
dalamnya terdapat lima orang sedang mendayung menghadapi tantangan lautan.
Secara filosofis, maknanya ialah masyarakat Maluku adalah masyarakat yang
dinamis, dan penuh daya juang dalam menghadapi tantangan untuk menyongsong masa
depan yang gemilang.
Laut adalah medan penuh bahaya
dan Arumbae menstrukturkan cara pandang bahwa laut adalah medan kehidupan yang
harus dihadapi. [1Itulah sebabnya, masyarakat Maluku melihat laut sebagai
jembatan persaudaraan yang menghubungkan satu pulau dengan pulau Berlayar ke
suatu pulau, seperti dalam Pela Gandong bertujuan untuk mengeratkan jalinan
hidup orang bersaudara sebagai pandangan dunia orang Maluku. Kebiasaan
papalele, babalu, maano, dan konsekuensi berlayar ke pulau lain, membuat laut
dan arumbae sebagai simbol perjuangan ekonomi.
Arumabe tampak dalam beragam
karya seni. Misalnya dalam syair kata tujuh ya nona, ditambah tujuh, sapuluh
ampa ya nona dalang parao Banyak gapura negeri adat Maluku berbentuk Arumbae.
Lagu daerah banyak mengumpamakan keharmonisan dengan simbol perahu atau
Arumbae. Di bidang olahraga, Arumbae Manggurebe menjadi program pariwisata dan
olah raga tahunan yang diselenggarakan di Teluk Ambon.
SASAHIL DAN NEKORA
Sasahil dan Nekora merupakan
tradisi masyarakat adat di Negeri Siri Sori Islam dan Negeri Siri Sori Kristen
di pulau Saparua. Bagi masyarakat desa Telalora, Nekora memiliki basis nilai
tolong-menolong antarwarga. Nilai tradisi Sasahil dan Nekora terletak pada cara
dan proses pelaksanaan. [10] Nilai tolong-menolong yang terdapat dalam tradisi
Sasahil maupun Nekora memiliki basis solidaritas yang kuat, dan menciptakan
relasi saling memberi dan menerima antarwarga agar suatu pekerjaan berat untuk
mendirikan rumah bisa lebih ringan. Dalam menghadapi dinamika kehidupan yang
terus berubah, tradisi Sasahil dan Nekora selalu dipertahankan dan dipelihara
dengan baik. Hal ini dimaksudkan sebagai modal sosial kelangsungan hidup
bermasyarakat di masa mendatang.
CIRI KHAS MALUKU
Maluku atau
yang dikenal secara internasional sebagai Moluccas dan Molukken adalah provinsi
tertua yang ada di Indonesia, lintasan sejarah Maluku telah dimulai sejak zaman
kerajaan-kerajaan besar di Timur Tengah seperti kerajaan Mesir yang dipimpin
Firaun. Bukti bahwa sejarah Maluku adalah yang tertua di Indonesia adalah
catatan tablet tanah liat yang ditemukan di Persia, Mesopotamia, dan Mesir
menyebutkan adanya negeri dari timur yang sangat kaya, merupakan tanah surga,
dengan hasil alam berupa cengkeh, emas dan mutiara, daerah itu tak lain dan tak
bukan adalah tanah Maluku yang memang merupakan sentra penghasil Pala, Fuli,
Cengkeh dan Mutiara. Pala dan Fuli dengan mudah didapat dari Banda Kepulauan,
Cengkeh dengan mudah ditemui di negeri-negeri di Ambon, Pulau-Pulau Lease
(Saparua, Haruku & Nusa laut) dan Nusa Ina serta Mutiara dihasilkan dalam
jumlah yang cukup besar di Kota Dobo, Kepulauan Aru.
Ibu kota
Maluku adalah Ambon yang bergelar atau memiliki julukan sebagai Ambon Manise,
kota Ambon berdiri di bagian selatan dari Pulau Ambon yaitu di jazirah
Leitimur. Ada wacana bahwa Kota Ambon Manise sudah semakin padat, sumpek, dan
tidak lagi layak untuk menampung jumlah penduduk yang dari tahun ke tahun
meningkat tajam yang merupakan ibu kotapProvinsi akan menjadi kota biasa karena
ibu kota direncanakan pindah ke negeri Makariki di Kabupaten Maluku Tengah.
Jumlah
penduduk provinsi ini tahun 2010 dalam hasil sensus berjumlah 1.533.506 jiwa.
Maluku terletak di Indonesia Bagian Timur. Berbatasan langsung dengan Maluku
Utara dan Papua Barat di sebelah utara, Laut Maluku, Sulawesi Tengah, dan
Sulawesi Tenggara di sebelah barat, Laut Banda, Timor Leste, dan Nusa Tenggara
Timur di sebelah selatan serta Laut Aru dan Papua di sebelah timur.
Maluku memiliki 2 agama utama
yaitu agama Islam Sunni yang dianut 50,8 % penduduk Maluku dan agama Kristen
(baik Protestan maupun Katolik) yang dianut 48,4 % penduduk Maluku.[2] Maluku
tercatat dalam ingatan sejarah dunia karena konflik atau tragedi krisis
kemanusiaan dan konflik horizontal antara basudara Salam-Sarane atau antara
Islam dan Kristen yang lebih dikenal sebagai Tragedi Ambon. Selepas tahun 2002,
Maluku berubah wajah menjadi provinsi yang ramah dan damai di Indonesia, untuk
itu dunia memberikan suatu tanda penghargaan berupa Gong Perdamaian Dunia yang
diletakkan di ACC (Ambon City Centre).
Pada tahun 1999 ketika konflik
atau tragedi krisis kemanusiaan dan konflik horizontal antara basudara
Salam-Sarane atau antara Islam dan Kristen yang lebih dikenal sebagai Tragedi
Ambon melanda Maluku, sebagian wilayah Provinsi Maluku dimekarkan menjadi
Provinsi Maluku Utara, dengan ibu kota di Sofifi. Namun, karena Kota Sofifi
dinilai belum siap menjadi ibu kota maka pusat pemerintahan sementara sampai
2009 berada di Kota Ternate yang berada di Pulau Ternate.
Provinsi
Maluku dan Maluku Utara membentuk suatu gugus-gugus kepulauan yang terbesar di
Indonesia dikenal dengan Kepulauan Maluku dengan lebih dari 4.000 pulau baik
pulau besar maupun kecil.
MAKANAN KHAS
1. SAGU TUMBUH
Salah satu
makanan tradisional yang memiliki keunikan nilai karena bahan dasarnya berasal
dari tanaman khasa Maluku Sagu adalah, “SAGU TUMBUH” atau yang biasa dikenal
oleh masyarakat setempat dengan nama “PAUMAUIDO”. Sagu Tumbuh, memiliki
citarasa yang sangat tinggi, bahan dasarnya bersumber dari perpaduan antara,
Tepung Sagu Kering, Gula Merah dan Kenari. Bahan ini diolah secara tradisional
yang dicamur atau ditumbuk dalam lesung yang terbuat dari kayu.
Setalah matang
SAGU TUMBUH akan terlihat berwarna Coklat Mangis tercium aroma manis yang
harum, karena diolah dengan Buah Kenari, balutan minyak akan terasa jika anda
mencicipinya. Dengan nilai tradisonal sagu tumbuh saat ini bisa didapat dengan
mudah jika anda mengunjgi negeri tersebut. Para pembuat makan khasa Maluku ini,
biasanya menjual Sagu Tumbuh sesuai dengan pesanan. dengan nilai jual yang
disesuaikan dengan jumlah pesanan.
Selama ini
sagu tumbuh cukup dikenal, beberapa waktu lalu lewat UKM Louhatta, yang sukses
mengikuti pameran ditingkat nasional bahkan sampai ke tingkat internasional.
Upaya yang dilakukan oleh UKM yang notabene berangotakan kelompok ibu-ibu di
negeri Siri Sori Islam ini membuahkan hasil yang cukup baik. Bahkan Orang Nomor
Satu di Indonesia, Presiden SBY, pernah memesan Sagu Tumbuh untuk dikemas dan
dikirim ke Istana Negara, Saat Raja Kerajaan Belanda mengunjungi Istana Negara
beberapa waktu lalu.
2. BAGEA
Salah satu
jenis kuliner yang populer menjadi makan khas masyarakat Maluku yang diproduksi
di Negeri ini adalag “BAGEA”. Makanan yang bercitarasa, mengandung nilai dan
sangat kenyal ini terbuat dari bahan dasar tepung Sagu. Jenis kuliner yang
berusia ratusan tahun dan sudah ada sejak jaman kolonial dan higga saat ini
masih tetap diproduksi. Kuliner yang sangat bernilai dan masih terpelihara
dengan baik dengan citarasa yang sama kerana memiliki nilai hitoris dimasa
lalu.
Bagea terdiri Dari Beberapa Jenis
Masing Masing :
1. Bagea Kenari
2. Bagea Kelapa
3. Bagea Gula
Adonan dari
bahan dasar makanan ini tergantung dari jenis yang di pesan. Untuk Bagea Gula
bahan dasarya tepung sagu dicampur dengan Gula Mera, Bagea Kelapa terbuat dari
capuran donan kelapa setengah matang, dan tepung sagu, sementara untuk Bagea
Kanari, bahan dasarnya berasal dari tepung Sagu dan Buah Kenari.Setalah
dicampur sesuai dengan takaran yang pas dan tepat, Bagea yang sudah diolah
tersebut kemudian dimasukan ke dalam Poran atau Open yang terbuat dari Tana
Liat. Usai melewati proses pembakaran Begea lalu dikeluarkan dan siap dijual
seauai dengan nilai pesanan yang ditawrakan.
Bagi anda para
pencinta kuliner, sangat tepat jika anda mengunjugi dan menikmati makan khas yang
memiliki cita rasa tinggi dan bernilai hitoris di Bumi Rara Raja Maluku, maka
tidak salah bila anda mengunjungi Negeri yang berada di semenanjung utara pulau
saparua ini, untuk melihat dan menikmati wisata kuliner anda.